Senin, 17 September 2012

Plural-is-Me (Event Workshop Media dan Keberagaman)


Assalammualaikum Wr. Wb. Akhirnya aku bisa kembali lagi mengetikkan jari-jari dan menuliskan posting di blog ini. Ya, setelah sempat hiatus selama kurang lebih satu minggu, belum sempat blogwalking, dan belum sempat membalas komentar teman-teman di posting sebelumnya. Hehe … Tetapi aku akan coba untuk menulis kembali sebagai jurnal pribadi dan berbagi pengalaman untuk teman-teman semua. Okelah Sip …

Biasalah. Kebiasaan buruk dan nakal. Intermezzo dulu. Haha ... Tapi singkat aja kok. Bagi sahabat blogger yang sudah berpartisipasi melalui Giveaway Catatan Indrayana, lima diantaranya adalah ...

1. Nufadillah
2. Rhoshandhayani K. T.
3. Nyi Penengah Dewanti
4. Bita Gadsia
5. Hadi Kurniawan

Terimakasih atas partisipasinya dalam mengikuti lomba yang bisa dibilang 'dadakan' ini. Bagi 3 besar yang terpilih nanti (maaf belum sempat baca semuanya.. Hehe) akan mendapatkan hadiah menarik. Sedangkan dua lainnya akan mendapat hadiah yang berkesan (apasih :p). Hehe. Tunggu saja kehadirannya. Kirimkan nama email kalian untuk kemudian di follow up oleh aku. Kirimkan melalui email dheindraagniaza@gmail.com sebelum tanggal 20 September 2012. Ditunggu yah ...


Plural is Me ... (Plural itu aku)

Apa yang ingin aku bagi disini adalah tentang apa yang aku dapat di Event Workshop Media dan Keberagaman selama tiga hari kemarin (Jum’at – Minggu 14 – 16 September 2012) di Wisma Makara Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Banyak ilmu yang bisa aku terapkan dalam aksi peliputan sebuah berita ketika kelak kita menjadi wartawan (Aaamiinnn), banyak bahan diskusi dan banyak mendapat teman. Hehe… Para pesertanya pun bukan hanya dari ranah Jabodetabek saja. Ada juga yang dari Serang Banten, Bandung Jawa Barat, Pati, Semarang Jawa Tengah dan Yogyakarta. Seluruh perwakilan dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di dominan kampus di Pulau Jawa berkumpul di wisma yang terletak di Universitas nomor satu di Indonesia ini, kemarin.

Selama workshop, kami tidak hanya berduduk, berdiskusi dan di tempat saja, tetapi kami juga disuguhkan untuk bertandang ke lokasi konflik yang bisa kami angkat menjadi berita. Dalam hal ini kami disuguhkan untuk bertandang ke lokasi konflik Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bogor, Jawa Barat pada hari Sabtu (hari kedua). Namun, rincian perjalanan kami selama di GKI Yasmin dan obrolan-obrolannya, akan aku ulas di posting selanjutnya yah.

Usman Kansong. Seorang direktur pemberitaan Media Indonesia, dalam diskusi ini menuturkan bahwa dalam konteks keberagaman, di era reformasi ini pers semestinya lebih leluasa memberitakan keberagaman. Akan tetapi, tambahnya, sebagian penerbitan, terutama penerbitan berbasis agama justru mengancam dan menolak kebergamaan dalam pemberitaannya. Pers umum atau pers mainstream yang semestinya berfungsi menengahkan pers berbasis agama yang acap menyuarakan anti-keberagaman itu, dalam tingkat tertentu justru turut terjebak dalam pemberitaan yang justru turut mengancam keberagaman.

Dikatakan, bahwa pemberitaan mengenai keberagaman oleh pers-pers tertentu cukup dapat ‘menasihati’ para pembaca untuk mengenal lebih dekat tentang agama apa yang dipeluknya. Dalam hal ini, mayoritas pers tertentu yang dilansir aku tadi, adalah Islam. Kendati demikian perlu diingat kembali bahwa tidak semua media Islam menyuarakan anti keberagaman. Hanya media tertentu saja yang acapkali melakukan hal seperti itu. Tetapi perlu ditegaskan disini, bahwa pembaca berita yang dipublish oleh media Islam tertentu tersebut tidaklah sedikit. Menurut Kansong, pada majalah Hidayah, misalnya, berdasarkan data Media Planning Guide 2008, merupakan majalah dengan jumlah pembaca terbesar, yakni 531.000 pembaca. Lalu, majalah Sabili, pada 2002-2004, bisa menjual 140.000 eksemplar per edisi dengan jumlah pembaca mencapai sekitar satu juta orang (Fealy and White, 2008).

Trainer Daniel Awigra, salah satu pengurus besar komunitas Sejuk mengatakan, toleransi keberagaman di Tanah Air sudah kurang diaplikasikan kepada masyarakat tertentu. Mereka yang dinilai sebagai ‘pejuang Iman garis keras’, seperti dengan lancar melabrak apapun yang mereka nilai dapat mengancam ajaran agamanya. Dengan dalih akidah, mereka seakan buta mata terhadap sekeliling yang mereka tidak sukai.

Cobalah kita menatap realita yang pernah terjadi dan mengorbankan hampir seluruh umat tidak tahu menjadi terlantar dan tak tahu harus berbuat apa. Kasus Sampang, Jawa Timur, menjadi contoh legitnya. Anarkhisme yang diperuntukkan bagi masyarakat Syiah seakan menjadi solusi bagi penyerang dalam memberantas apapun yang menurut mereka (penyerang) tidak sesuai dengan ajaran Islam yang seharusnya. Di Cikeusik, Banten, pembantaian warga Ahmadiyah juga menjadi dalih serupa bagi si penyerang mengapa mereka menyerang warga yang tergolong minoritas tersebut. Yang terakhir, contoh kasus yang paling menyedihkan dan menyayat hati kita semua, adalah aksi diskriminasi oleh pemerintah dan ormas Islam garis keras, yang menolak pembangunan Gereja GKI Yasmin di Bogor. Sahabat blogger bisa menyimak dengan lengkap ulasan wawancara khusus aku dan rekan-rekan dengan Kuasa Hukum Jemaat GKI Yasmin di posting selanjutnya.

Tutur demi tutur, kami semua sepakat bahwa penyebab dari aksi-aksi yang sangat tidak diharapkan bagi kaum pluralisme ini disebabkan oleh adanya diskriminasi oleh kaum minoritas. Seharusnya, Negara menjamin setiap umat beragama memeluk keyakinannya, seperti dilansir oleh Undang-Undang Kenegaraan Pasal 29 tersebut. Tetapi nyatanya, kaum ‘terpinggirkan’ tersebut malah makin terpinggirkan saja. Bagaimana nasib anak-anak, wanita, dan mungkin manusia paruh baya beserta orang-orang yang tidak tahu libatannya nanti? Apakah harus, mereka terus menanggung derita akibat dari keminoritasannya? Belum lagi, para korban tewas yang terjadi akibat konflik keagamaan ini.

Lebih lanjut, trainer dalam sebuah materi yang berjudul Teknik Meliput Berita Keberagaman menuturkan, ada beberapa hal yang perlu untuk bekal kita menulis berita keberagaman. Salah satunya, pilihlah diksi yang tepat. Seringkali media memilih pilihan kata (diksi) yang kurang tepat sehingga memicu kekuatan pembaca akan keyakinan pemikiran yang dimilikinya, misalkan kata ‘Tobat’, ‘Sesat’, dan lain sebagainya. Contoh, “Sabtu lalu, sekelompok warga yang terdiri dari kelompok (nama kelompok) akhirnya memilih untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar”. Wartawan yang benar, tidak menggunakan kata tobat dalam publikasi beritanya karena ia bukanlah penghakim agama, melainkan itu sebuah penilaian masyarakat tertentu saja.

Kedua, independensi oleh Cover Both Side (dua sisi narasumber) juga perlu kehati-hatian. Dalam berita konflik, cover both side (selanjutnya aku singkat saja jadi CBS) yang hanya meminta klarifikasi dari dua sisi yang bertarungan, dalam hal ini kedua pemimpin kubu terkonflik, dikhawatirkan dapat memicu kerusuhan yang lebih besar lagi. Woow ... kenapa bisa begitu? Karena keberimbangan berita perihal siapa yang benar dan salah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Keduanya kan mengklaim salaing benar, lalu siapa yang bisa memberikan pernyataan? Carilah narasumber ketiga yang ahli namun bersifat netral alias plural. Sekali lagi Plural. Tengahkanlah kedua kubu dengan pernyataan pihak ketiga itu. Dengan begitu, peluang untuk mereka berdamai pun bisa semakin besar. Tanggung jawab wartawan tidak hanya menulis berita dengan CBS dan selesai. Tetapi menjaga harmonisme antarumat juga menjadi keharusan karena kalau kedua kubu sudah berkonflik ... Siapa lagi yang akan melerai selain kita?

Sebenarnya masih ada yang lain lagi, sayangnya modul yang merupakan sumber utama rangkuman materi diskusi ini tertinggal di asrama dimana aku menginap. Yaahhhh …. #penontonkecewa

Hehe. Terlepas dari hal yang dirasa cukup menambah sengit ditiap diskusinya karena dalam forum ini memang membahas total mengenai pers dan keberagaman, tetapi disini semua tetap dan selalu solid dalam mengedepankan sikap ‘pluralistik’ sebagai bekal ketika akan bekerja di media nanti. Kami semua sepakat, akan selalu bertoleransi penuh akan keberagaman dan tidak pernah memihak kepada satu golongan saja. Apalagi bagi kaum minoriti yang tertindas … Rasa solidarisme antargolongan iman itu wajib kita tumbuhkan dalam hati karena pada dasarnya kita semua adalah manusia, yang butuh dan perlu mendapatkan hak asasi yang sebenar-benarnya.



Because we are … Pluralism Alliance. Plural-is-me  ^ ^





Sekali lagi : Giveaway Catatan Indrayana TELAH BERAKHIR. Terimakasih kepada kalian yang telah berpartisipasi. Untuk hadiah mohon tunggu konfirmasi. Kirimkan email kalian (peserta) ke email dheindraagniaza@gmail.com paling lambat tanggal 20 September 2012

Ditunggu yah. Sebelum terlambat ^ ^
Karena kalau terlambat, konsekuensinya antara lain keterlambatan pembagian hadiah atau pembatalan hadiah sama sekali. Hehehehe :D


beberapa sumber dan gambar dari www.sejuk.org