Sebelum aku memulai
posting di awal tahun 2013 ini, aku selaku komandan tertinggi blog Catatan
Indrayana mengucapkan,
“SELAMAT TAHUN BARU
2013”
Semoga resolusi dan
harapan yang kita inginkan bias tercapai di tahun ini.
Amiinnn ….
Salam Blogger …
Assalammu’alaikum .. 2013 year
has comin. Yeeaahhh. Tahun baru, semangat baru, resolusi baru, dan cinta baru
#eh.. maksudnya harapan baru. Hehehe … pada kesempatan kali ini aku ingin
berbagi keceriaan sekaligus ke-dugdugan hati selama 4 hari aku meninggalkan
kota Jakarta. Weh, kemanakah aku selama itu? Yap. BENAR SEKALI. Aku dan
teman-teman Komunitas Taman Ceria Negeriku ber-backpacking ria ke Gunung Bromo
dan jalan-jalan ke kota Batu Malang, Jawa Timur!!! Wehehehe …. Aku ingin
berbagi pengalaman selama aku disana dan bagaimana aku bisa kembali lagi ke
sini untuk memposting blog sebagai kegiatan rutinku.
Kenapa men-dagdigdug?? Mungkin
cerita ku kali ini tidaklah seseram posting Kang Zachronisampurno dengan 13setengah centimeternya, tetapi ada satu hingga beberapa hal yang harus
kulakukan karena keadaan darurat dan sangat tidak direkomendasikan bagi sahabat
blogger yang ingin terjun untuk backpacking ke suatu gunung dengan persiapan
yang super minim. Tetapi aku upayakan untuk bertahan dan akhirnya aku sampai
kembali ke Jakarta.
Foke. Cerita bermula dari awal
naik di Stasiun Jakarta Kota.

![]() |
Foto : Catatan Indrayana |
Perjalanan dimulai pada jam 17.45
WIB. Dengan menggunakan Kereta Api Gumarang jurusan Jakarta – Surabaya Turi aku
duduk manis di kursi bernomor 7C yang terletak di gerbong Bisnis 2. Harga
tiketnya lumanyan. Sekitar Rp. 250.000 saja, lalu dikalikan dua karena aku
membeli tiketnya juga pas saat perjalanan pulang. Dan … Toplah. Selama
perjalanan aku hanya melihat sisi lintas kota yang gelap gulita dengan hanya
pancaran lampu yang kecil-kecil menandakan rumah warga sekitar dan penerangan
jalan di jalur Pantai Utara atau yang biasa kita sebut Pantura.
Selama 725 Kilometer perjalanan
dimampukan PT. Kereta Api untuk tiba di stasiun Turi pada pukul 06.00 WIB.
Selama perjalanan itu pula, tidak ada yang bisa kulakukan selain makan cemilan
bawaan dari rumah pada malam harinya. Tidur pun seakan pencilakan, karena orang disamping aku saat itu berbadan cukup
besar sehingga menyempitkan ruang gerak tidurku selama perjalanan. Huuf… dalam
hatiku hanya bisa berkata, “Ya Allah … Berikanlah aku kenyamanan dalam duduk
dan tidur di keberangkatan kereta ini”, sangking aku tidak nyamannya.
Dan sepertinya Tuhan mengabulkan
do’aku. Aku lupa telah menyimpan headset dan handphone full-charge di saku tasku. Seketika kuambil saja kedua alat penting
itu untuk menemani perjalananku dengan mendengarkan music. And then, ketenangan
kedua datang lagi karena pacarku tercinta, menelepon aku dkira-kira sebelum jam
12 malam, saat kereta ku berhanti di Stasiun Brebes, Jawa Tengah. Pokoknya
Ok-lah … buat nenangin perjalanan aku selama ada orang laki gede banget duduk
disamping aku. Haha.
Beruntung pada pukul 02.00
dininhari orang berbadan gede disamping aku itu turun di Stasiun Semarang Kota.
ALHAMDULILLAH … akhirnya aku bisa selonjoran jugaaaa… :D
Foto : Catatan Indrayana |
Foto : Catatan Indrayana |
12 jam perjalanan, aku dan tim
beristirahat sebentar di pelataran stop Stasiun Turi selama beberapa menit.
Namun ketenangan waktu istirahat kami itu tidak berlangsung lama. Seketika saat
diskusi mengenai mobil apa lagi yang akan kami naiki, terjadilah debat yang
cukup alot. Pasalnya untuk menuju ke Gunung Bromo hanya bisa dilakukan dengan
mobil carteran. Walhasil bergeraklah kami untuk menanyakan beberapa dari sopir
mobil travel, dan akhirnya disepakati untuk mencapai ke Homestay Gunung Bromo kami
membayar ongkos carter sekitar Rp. 325.500,-
Melewati Jalan Tol Surabaya –
Gempol, melintasi sepanjang jalan pinggir kali Porong, Sidoarjo yang sempat
heboh berita Aburizal Bakrie oleh karena lumpur lapindonya itu, aku dan tim
se-mobil berjalan terus menuju daerah Pasuruan, Jawa Timur. Tetapi karena semua
dari kami belum sarapan pagi, maka sesampainya kami di Kabupaten Pasuruan,
Jatim diputuskanlah kami berhenti di salah satu rumah makan kecil yang terletak
di wilayah Bangil. Wilayah yang kecil, namun memiliki salah satu makanan khas
yang belum pernah aku coba sebelumnya, yakni Nasi Punel Bangil.
![]() |
Foto : Catatan Indrayana |
Nasinya terlihat biasa, tetapi rasanya
yang tidak biasa. Sangat pulen dan berasa seperti ketan, dilumuri dengan
kuah kikil santan dengan lauk dendeng sapi, empal daging, sedikit taburan
serundeng dan tumis kacang panjang menambah nikmat rasa Nasil Punel khas
Bangil, Jawa Timur ini karena rasa nasinya yang manis dan benar-benar sangat
ketan. Hmm .. Nikmat banget!!!! Bagi sahabat blogger yang ingin atau sedang melintasi
wilayah Pasuruan, aku rekomendasikan sahabat blogger semua untuk mencoba Nasi
Punel Bangil, yang hanya terletak di sini, di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
Ya.. Hanya ada di sini.
![]() |
Foto : Catatan Indrayana |
![]() |
Foto : Catatan Indrayana |
Setelah sarapan pagi di Warung
Nasil Punel Bu Hj. Lin kami berangkat kembali ke homestay Gunung Bromo. Dan,
sampailah kita di homestay yang terletak di Desa Wonokitri, Tosari, Pasuruan, Jawa
Timur. Untuk biaya di homestay ini, per harinya cukup membayar Rp. 385.000
saja. Sudah termasuk air panas dan dua kamar tidur. Recommended banget lah buat
sahabat blogger yang ingin mencari homestay di Gunung Bromo karena lokasinya
yang cukup dekat menuju Penanjakan Gunung Bromo.
Foto : Catatan Indrayana |
Di samping kanan dan kiri
terlihat Pura yang besar-besar. Ternyata telusur demi telusur, di wilayah
Tengger ini banyak penghuni yang mendominasi keramaian warga yakni Bergama Hindu.
Bahkan dalam penemuanku, hanya satu orang yang tinggal di Desa Wonokitri yang
beragama Kristen. Islam??? Hmm … mungkin ada tetapi sepanjang kemarin aku belum
melihat saja. Tetapi yang perlu dicatat disini adalah 99 persen warga disana mayoritas
beragama Hindu.
![]() |
Foto : Catatan Indrayana |
![]() |
Foto : Catatan Indrayana |
![]() |
Foto : Catatan Indrayana |
![]() |
Jadi Hindu sehari.. hahaha Foto : Catatan Indrayana |
Pada Keesokan Harinya …
Aku terbangun sendiri pada pukul
02.00 dinihari di homestay karena memang kedua mataku yang ingin melek pada jam
itu. Dingin banget udaranya, perlu jaket tebal dan baju berlapis kalau kita
masih ingin merasakan panas di daerah itu.
Aku melihat keluar rumah, disana
terlihat ramai sekali pengunjung yang ingin naik ke Penanjakan Gunung Bromo.
Ramai sekali. Ya.. di Jam dua dinihari ini suasana sudah sangat ramai sekali.
Termasuk aku dan tim, kami berniat untuk naik ke Penanjakan Gunung Bromo yang
kami rencanakan berangkat pada pukul 03.00 dinihari.
Foto : Catatan Indrayana |
Foto : Catatan Indrayana |
Aku dan tim di dalam Jeep Foto : Catatan Indrayana |
Di Penanjakan Gunung Bromo,
banyak orang yang ingin melihat dan mengabadikan momen terpenting sepanjang
sejarah pengunjung di sana, yakni menyaksikan terbitnya Matahari pada pukul
05.30 WIB. Dan, untuk menuju kesana kita harus menggunakan Jeep yang
dikemudikan oleh warga sana. Uang Rp. 600.000 kami gelontorkan untuk
berkeliling ke wilayah Bromo dan sekitarnya, termasuk ke Penanjakan itu.
Namun hal yang dipraduga oleh
kami semua ternyata terjadi. Kabut tebal menyelimuti langit, dan udara yang
sangat dingin kian menusuk kulit. Sempat terjadi ketersendatan dalam perjalanan
berjalan kaki antara aku, tim, dan pengunjung sekitar karena yang berkunjung
kesana sangat ramai sekali. Ditambah, sesampainya di Penanjakan Puncak,
buanyaakkk orang yang memenuhi sekitar pagar pembatas untuk mendapatkan terbit
matahari secara jelas. Halangan-halangan itu membuatku sedikit resah, apakah
perjalananku kesini menjadi sia-sia karena kabut tebal yang menghalangi langit sempat
membuat kecewa pengunjung yang datang kesana. Dan, berjibun orang didepanku
yang ingin menduduki posisi depan menyulitkanku untuk menyaksikan matahari
terbit secara jelas???? Dalam pikirku, aku harus melakukan sesuatu agar aku
bisa merekam matahari terbit itu dengan jelas pukul setengah 6 nanti. Itupun,
kalau kabutnya gak tebal-tebal amat.
Buanyak orang menghalangiku mengambil gambar matahari terbit Foto : Catatan Indrayana |
Pertanyaannya adalah,
Bisakah aku dengan kamera poket
kecilku ini mengabadikan matahari terbit dengan kedua halangan itu???
Tingkat optimisme : 24% (Dua
puluh empat persen)
#Bersambung …
Tunggu kelanjutan ceritaku di Inspiraturis … (Part 2) :
Journey to the Bromo Mountain 2