Kamis, 03 Januari 2013

Inspiraturis … (Part 2) : Journey to the Bromo Mountain

Sebelum aku memulai posting di awal tahun 2013 ini, aku selaku komandan tertinggi blog Catatan Indrayana mengucapkan,

“SELAMAT TAHUN BARU 2013”

Semoga resolusi dan harapan yang kita inginkan bias tercapai di tahun ini.
Amiinnn ….


Salam Blogger …



Assalammu’alaikum .. 2013 year has comin. Yeeaahhh. Tahun baru, semangat baru, resolusi baru, dan cinta baru #eh.. maksudnya harapan baru. Hehehe … pada kesempatan kali ini aku ingin berbagi keceriaan sekaligus ke-dugdugan hati selama 4 hari aku meninggalkan kota Jakarta. Weh, kemanakah aku selama itu? Yap. BENAR SEKALI. Aku dan teman-teman Komunitas Taman Ceria Negeriku ber-backpacking ria ke Gunung Bromo dan jalan-jalan ke kota Batu Malang, Jawa Timur!!! Wehehehe …. Aku ingin berbagi pengalaman selama aku disana dan bagaimana aku bisa kembali lagi ke sini untuk memposting blog sebagai kegiatan rutinku.

Kenapa men-dagdigdug?? Mungkin cerita ku kali ini tidaklah seseram posting Kang Zachronisampurno dengan 13setengah centimeternya, tetapi ada satu hingga beberapa hal yang harus kulakukan karena keadaan darurat dan sangat tidak direkomendasikan bagi sahabat blogger yang ingin terjun untuk backpacking ke suatu gunung dengan persiapan yang super minim. Tetapi aku upayakan untuk bertahan dan akhirnya aku sampai kembali ke Jakarta.


Foke. Cerita bermula dari awal naik di Stasiun Jakarta Kota.

Sekitar sebulan yang lalu, aku membeli tiket untuk perjalanan kereta pada tanggal 28 Desember 2012 dan perjalanan baliknya pada tanggal 1 Januari 2013. Yap benar sekali. Aku dan kawan-kawan bersama-sama memeriahkan tahun baru di kota Malang, Jawa Timur, setelah dua hari ber-backpacking ria di Gunung Bromo, Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu-Minggu lalu. Oleh sebab itu aku agak sulit untuk BW ke blog teman-teman semua dikarenakan sinyal yang ngos-ngosan. Hehe .. Maaf yaa…



Foto : Catatan Indrayana


Perjalanan dimulai pada jam 17.45 WIB. Dengan menggunakan Kereta Api Gumarang jurusan Jakarta – Surabaya Turi aku duduk manis di kursi bernomor 7C yang terletak di gerbong Bisnis 2. Harga tiketnya lumanyan. Sekitar Rp. 250.000 saja, lalu dikalikan dua karena aku membeli tiketnya juga pas saat perjalanan pulang. Dan … Toplah. Selama perjalanan aku hanya melihat sisi lintas kota yang gelap gulita dengan hanya pancaran lampu yang kecil-kecil menandakan rumah warga sekitar dan penerangan jalan di jalur Pantai Utara atau yang biasa kita sebut Pantura.

Selama 725 Kilometer perjalanan dimampukan PT. Kereta Api untuk tiba di stasiun Turi pada pukul 06.00 WIB. Selama perjalanan itu pula, tidak ada yang bisa kulakukan selain makan cemilan bawaan dari rumah pada malam harinya. Tidur pun seakan pencilakan, karena orang disamping aku saat itu berbadan cukup besar sehingga menyempitkan ruang gerak tidurku selama perjalanan. Huuf… dalam hatiku hanya bisa berkata, “Ya Allah … Berikanlah aku kenyamanan dalam duduk dan tidur di keberangkatan kereta ini”, sangking aku tidak nyamannya.

Dan sepertinya Tuhan mengabulkan do’aku. Aku lupa telah menyimpan headset dan handphone full-charge di saku tasku. Seketika kuambil saja kedua alat penting itu untuk menemani perjalananku dengan mendengarkan music. And then, ketenangan kedua datang lagi karena pacarku tercinta, menelepon aku dkira-kira sebelum jam 12 malam, saat kereta ku berhanti di Stasiun Brebes, Jawa Tengah. Pokoknya Ok-lah … buat nenangin perjalanan aku selama ada orang laki gede banget duduk disamping aku. Haha.


Beruntung pada pukul 02.00 dininhari orang berbadan gede disamping aku itu turun di Stasiun Semarang Kota. ALHAMDULILLAH … akhirnya aku bisa selonjoran jugaaaa… :D


Foto : Catatan Indrayana
Tepat dugaanku. Kereta berhenti pada pukul 06.30 WIB di Stasiun Turi Surabaya. Tidak seperti biasanya ketika aku menunggu kereta berhenti pada pukul 05.00 pagi langit sudah bersinar terang. Di Jakarta? Masih sepet yaa??? Mungkin ini dikarenakan zona geografis Surabaya yang mendekati wilayah Bali yakni Waktu Indonesia Tengah. Jadi, matahari terbit lebih cepat 30 menit dari Jakarta.




Foto : Catatan Indrayana
12 jam perjalanan, aku dan tim beristirahat sebentar di pelataran stop Stasiun Turi selama beberapa menit. Namun ketenangan waktu istirahat kami itu tidak berlangsung lama. Seketika saat diskusi mengenai mobil apa lagi yang akan kami naiki, terjadilah debat yang cukup alot. Pasalnya untuk menuju ke Gunung Bromo hanya bisa dilakukan dengan mobil carteran. Walhasil bergeraklah kami untuk menanyakan beberapa dari sopir mobil travel, dan akhirnya disepakati untuk mencapai ke Homestay Gunung Bromo kami membayar ongkos carter sekitar Rp. 325.500,-

Melewati Jalan Tol Surabaya – Gempol, melintasi sepanjang jalan pinggir kali Porong, Sidoarjo yang sempat heboh berita Aburizal Bakrie oleh karena lumpur lapindonya itu, aku dan tim se-mobil berjalan terus menuju daerah Pasuruan, Jawa Timur. Tetapi karena semua dari kami belum sarapan pagi, maka sesampainya kami di Kabupaten Pasuruan, Jatim diputuskanlah kami berhenti di salah satu rumah makan kecil yang terletak di wilayah Bangil. Wilayah yang kecil, namun memiliki salah satu makanan khas yang belum pernah aku coba sebelumnya, yakni Nasi Punel Bangil.


Foto : Catatan Indrayana


Nasinya terlihat biasa, tetapi rasanya yang tidak biasa. Sangat pulen dan berasa seperti ketan, dilumuri dengan kuah kikil santan dengan lauk dendeng sapi, empal daging, sedikit taburan serundeng dan tumis kacang panjang menambah nikmat rasa Nasil Punel khas Bangil, Jawa Timur ini karena rasa nasinya yang manis dan benar-benar sangat ketan. Hmm .. Nikmat banget!!!! Bagi sahabat blogger yang ingin atau sedang melintasi wilayah Pasuruan, aku rekomendasikan sahabat blogger semua untuk mencoba Nasi Punel Bangil, yang hanya terletak di sini, di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Ya.. Hanya ada di sini.

Foto : Catatan Indrayana


Foto : Catatan Indrayana

Setelah sarapan pagi di Warung Nasil Punel Bu Hj. Lin kami berangkat kembali ke homestay Gunung Bromo. Dan, sampailah kita di homestay yang terletak di Desa Wonokitri, Tosari, Pasuruan, Jawa Timur. Untuk biaya di homestay ini, per harinya cukup membayar Rp. 385.000 saja. Sudah termasuk air panas dan dua kamar tidur. Recommended banget lah buat sahabat blogger yang ingin mencari homestay di Gunung Bromo karena lokasinya yang cukup dekat menuju Penanjakan Gunung Bromo.

Foto : Catatan Indrayana


Di samping kanan dan kiri terlihat Pura yang besar-besar. Ternyata telusur demi telusur, di wilayah Tengger ini banyak penghuni yang mendominasi keramaian warga yakni Bergama Hindu. Bahkan dalam penemuanku, hanya satu orang yang tinggal di Desa Wonokitri yang beragama Kristen. Islam??? Hmm … mungkin ada tetapi sepanjang kemarin aku belum melihat saja. Tetapi yang perlu dicatat disini adalah 99 persen warga disana mayoritas beragama Hindu.

Foto : Catatan Indrayana

Foto : Catatan Indrayana

Foto : Catatan Indrayana

Jadi Hindu sehari.. hahaha
Foto : Catatan Indrayana


Pada Keesokan Harinya …

Aku terbangun sendiri pada pukul 02.00 dinihari di homestay karena memang kedua mataku yang ingin melek pada jam itu. Dingin banget udaranya, perlu jaket tebal dan baju berlapis kalau kita masih ingin merasakan panas di daerah itu.

Aku melihat keluar rumah, disana terlihat ramai sekali pengunjung yang ingin naik ke Penanjakan Gunung Bromo. Ramai sekali. Ya.. di Jam dua dinihari ini suasana sudah sangat ramai sekali. Termasuk aku dan tim, kami berniat untuk naik ke Penanjakan Gunung Bromo yang kami rencanakan berangkat pada pukul 03.00 dinihari.

Foto : Catatan Indrayana

Foto : Catatan Indrayana

Aku dan tim di dalam Jeep
Foto : Catatan Indrayana


Di Penanjakan Gunung Bromo, banyak orang yang ingin melihat dan mengabadikan momen terpenting sepanjang sejarah pengunjung di sana, yakni menyaksikan terbitnya Matahari pada pukul 05.30 WIB. Dan, untuk menuju kesana kita harus menggunakan Jeep yang dikemudikan oleh warga sana. Uang Rp. 600.000 kami gelontorkan untuk berkeliling ke wilayah Bromo dan sekitarnya, termasuk ke Penanjakan itu.


Namun hal yang dipraduga oleh kami semua ternyata terjadi. Kabut tebal menyelimuti langit, dan udara yang sangat dingin kian menusuk kulit. Sempat terjadi ketersendatan dalam perjalanan berjalan kaki antara aku, tim, dan pengunjung sekitar karena yang berkunjung kesana sangat ramai sekali. Ditambah, sesampainya di Penanjakan Puncak, buanyaakkk orang yang memenuhi sekitar pagar pembatas untuk mendapatkan terbit matahari secara jelas. Halangan-halangan itu membuatku sedikit resah, apakah perjalananku kesini menjadi sia-sia karena kabut tebal yang menghalangi langit sempat membuat kecewa pengunjung yang datang kesana. Dan, berjibun orang didepanku yang ingin menduduki posisi depan menyulitkanku untuk menyaksikan matahari terbit secara jelas???? Dalam pikirku, aku harus melakukan sesuatu agar aku bisa merekam matahari terbit itu dengan jelas pukul setengah 6 nanti. Itupun, kalau kabutnya gak tebal-tebal amat.


Buanyak orang menghalangiku mengambil gambar matahari terbit
Foto : Catatan Indrayana
Kabut tebal ketika ku foto dengan kamera poketku dengan bantuan flashlight
Foto : Catatan Indrayana





Pertanyaannya adalah,
Bisakah aku dengan kamera poket kecilku ini mengabadikan matahari terbit dengan kedua halangan itu???
Tingkat optimisme : 24% (Dua puluh empat persen)



#Bersambung …
Tunggu kelanjutan ceritaku di Inspiraturis … (Part 2) : Journey to the Bromo Mountain 2